Counter

Followers

Selasa, 18 Februari 2014

SHUHBAH




a.    Pengertian
            Shuhbah adalah pertemanan[1].Secara etimologi, shuhbah berarti sahabat.secara terminologi, shuhbah adalah pertemanan yang dimana kita mendapat banyak manfaat darinya dan membuat kita bahagia[2].
”Dimana orang-orang yang saling mencintai karena kebesaranku, Hari ini, dihari yang tidak ada naungan, kecuali naunganku, aku naungi mereka dengan naunganku.”(al-hadits)
            Imam Ali berkata, “sesiapa yang tidak mempunyai teman, maka ia tidak memiliki simpanan.”[3]Beliau juga berkata,”teman adalah kerabat yang paling dekat”[4]
            Imam Al-Ghazali dalam bukunya mengatakan,” diantara yang termasuk ibadah paling utama ialah saling mencintai hanya karna Allah swt. Dan menjalin persaudaraan didalam agamanya dan dia termasuk buah dari akhlak yang baik dan kedua-duanya terpiji[5].”  
Kata ini akan dapat kita pahami maknanya secara mendalam jika kita tahu akan makna sahabat. Oleh karena itu, didalam sebuah pendidikan , kata ini diartikan sebagai “pendampingan”. Seorang guru tak hanya mengajarkan sesuatu kepada muridnya, tetapi (yang lebih penting daripada itu) juga mendampingi para murid ” laiknya seorang sahabat-karib” sehingga semua murid dapat merasa nyaman dan aman dalam “meniru” apa yang dicontohkan si guru.
b.   Etika berShuhbah

            Untuk mengokohkan ikatan tali persahabatan, perlu ditekankan adanya pengaruh kuat lima sifat yang menjadi tujuan utama tercapainya kemuliaan. Hendaknya sahabat kita itu adalah


1)   Orang yang berakal,
          Karena akal pikiran kita adalah modal utama dalam menen-tukan pengokohan shuhbah, maka tak ada kebaikan yang bisa diperoleh dari bersahabat dengan orang yang dungu, karena ketika ia hendak memberi sesuatu yang dianggap bermanfaat bagi kita, malah nyatanya bahaya yang sangat merugikan. Sedangkan maksud dari orang yang berakal itu sendiri adalah yang memahami setiap urusan sesuai dengan kenyataannya, baik memahami dengan dirinya sendiri, atau dengan sekiranya bila ia diberi pemahaman akan segera mengerti.
2)   Berbudi luhur,
            Budi pekerti yang luhur tentu harus ada sebagai perangkat yang mendampingi peran akal. Karena betapa banyak orang yang berakal tapi terkalahkan oleh ammarah dan syahwat dirinya yang membuat ia tunduk takluk di bawah kaki hawa nafsunya sendiri. Ia tidak memiliki akhlak mahmudah (terpuji), tapi yang ada hanyalah akhlak madzmumah (tercela). Tak ada kebaikan yang bermakna bila kita harus bersahabat dengannya.

3)    Tidak fasiq,
           Yakni orang yang seringkali melakukan dosa-dosa kecil, karena sesungguhnya orang tersebut tidak takut kepada Alloh. Sedangkan orang yang tidak takut kepada Tuhannya, ia tidak akan aman dari ‘bayangan tikaman’ keburukan dari arah belakang. Suatu saat ia sangat mungkin sekali melakukan kesalahan besar akibat kelalaian yang diperbuatnya.

4)   Bukan ahli bid’ah
     Yakni orang yang senang membuat-buat tentang urusan mendasar dalam agamanya. Tentu kita harus waspada dengan orang yang semisal ini, karena ia umpama orang yang sedang terkena penyakit menular, yang kita khawatir suatu saat penyakit menular (bid’ah) miliknya itu berpindah kepada kita.

5)   Tidak cinta dunia.
     Orang yang seluruh perhatiannya tertuju kepada dunia (material oriented), pepatahnya adalah “tiada hari tanpa dunia,” sebenarnya orang itu adalah tali yang dapat menyeret kita kepada jurang kecelakaan, maka lepaslah ia agar kita selamat dari jebakannya.



Dalam buku lain dipaparkan tentang etika bershuhbah antara lain:
1)        Orang yang dijadikan shuhbah ialah orang yang pandai,
2)        Memiliki akhlak dan watak yang mulia,
3)        Orang yang benar-benar takut kepada Allah swt.,
4)        Orang yang seluruh tingkah lakunya mengacu kepada al-Qur’an dan sunnah.
c.    Hak-hak dalam bershuhbah khusus karena Allah  
1)        Member bantuan keuangan,
2)        Masing-masing pihak harus mempunyai kesamaan untuk membantu dan menolong sesamanya serta member perlakuan istimewa lainnya,
3)        Membicarakan shuhbahnya pada hal yang baik saja,
4)        Harus membicarakan sesuatu tetnatng shuhbanhnya yang membuatnya senang,
5)        Memaklumi kesalahan kecil yang tidak disengaja dan tidak disadari suhbahnya,
6)        Menyelesaikan segala sesuatu hal yang berkaitan dengan perjuangan shuhbahnya dan meneruskanya hingga dia meninggal,
7)        Tidak menyulitkan shuhbhanya dan tidak boleh meminta sesuatu hal yang akan memberatkanya, dan
8)        Mendo’akan shuhbahnya sebagaimana ia berdo’a dengan dirinya sendiri.
d.   Niat dalam Shuhbah
       Imam Ibnu Qudamah di dalam kitabnya Minhaj al Qoshidin menguraikan tentang betapa pentingnya kita mengetahui dan memahami niat dan sifat yang menjadi syarat shuhbah menuju taqwa. Hal yang sangat mendasar untuk diketahui bahwa persahabatan hendaknya dilakukan tidak harus kepada setiap orang, begitupun seharusnya sahabat yang kita pilih sebagai orang terdekat dapat dibedakan dengan melihat sifatnya yang menyebabkan kebahagiaan hakiki, bukan kesengsaraan yang menipu diri.
            Perhatikanlah syarat mutlak berma’iyah dalam shuhbah dengan melihat manfaat yang perlu diambil darinya. Bedakan apakah kepentingan itu bersifat duniawi, yang kita hanya dapat mengambil keuntungan harta dan kewibawaan untuk tujuan pribadi semata. Ataukah kepentingan itu bersifat keagamaan, dimana di dalamnya banyak tujuan-tujuan yang menghan-tarkan kita pada kemuliaan, yang antara lain:
1)       Mengambil manfaat ilmu dan amal yang jelas murni tujuannya.
2)      Pengaruh wibawanya yang dapat menjaga kita dari ancaman ataupun tekanan orang lain yang meresahkan hati dalam konsentrasi ibadah.
3)      Meminta bantuan materil darinya untuk meringankan beban kita demi terhindar dari menyiakan waktu hanya untuk mencari sekedar kebutuhan pokok saja.
4)      Meminta bantuan dalam hal yang dinilai sangat butuh dan penting, karena dengan demikian kita lebih waspada, bersiap diri terhadap segala kemungkinan kejadian yang akan menimpa diri, hingga akhirnya kitapun mampu untuk mengatasinya.
5)      Mengharap akan datangnya pertolongan (syafa’ah) dari sahabat yang sholih atau sholihah kelak di akhirat. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian Ulama’ Salaf, “Per-banyaklah mencari kawan, karena sesungguhnya pada setiap mu’min itu ada syafa’ah pertolongan.”










[2]Dr.‘aidh Al-Qarni  La Tahzan” Qisthi Press,.hal.332
[3]Tim akhlak al-huda ,2003,Etika islam (al-ghurar, juz 5, hal.363)
[4]Ibid (Al-Ghurar, juz 1, hal.177)
[5]Imam ghazali,2004, “ihya’ ulumuddiin” hal.149

Tidak ada komentar:

follow me in

adv



From: http://www.nusaresearch.net/public/recommend/recommend

clik me

yours comment here