‘Amil secara bahasa adalah “yang mempengaruhi” (al-muatstsir), sedang secara istilah a’mil adalah sesuatu yang mengharuskan akhir kata beri’rab tertentu (Al-Hasyimi, tth:74)[6]; ‘Alâmah (1993:37([7]; ‘Abbas Hasan (tth:I:75)[8]; Ghalayaini (1987: 272)[9]
Mengenai ‘amil, Sibawaih hanya menyebut 14 kali dalam kitab-nya, di antaranya mengenai definisi ‘amil:”Aku hanya berkata kepadamu bahwa ada delapan ‘majari’ (i’rab) yang akan aku uraikan ketika salah satu dari keempat (dari delapan) dimasuki sesuatu yang bisa menimbulkan perubahan yang disebut dengan ‘amil (Abdussalam: 1991: 13). Dari pandangan Sibawaih inilah
pengertian ‘amil berkembang sampai sekarang.
Teori ‘amil lahir dari pemikiran Khalil bin Ahmad al-Farahidiy (100-175 H), yang merupakan guru besar (al-Ustadz al-Akbar) bagi Sibawaih.[10] Khalil
dikenal sangat menguasai logika Aristoteles.[11] Dengan demikian, teori ‘amil sangat dipengaruhi oleh filsafat. Ia berusaha menguraikan fenomena-fenomena kebahasaan dengan perspektif filsafat, salah satunya adalah pemikiran kausalitas (sababiyyah). Dalam pandangan ini, segala sesuatu yang “ada” di muka bumi ini mengharuskan “pengada”. Begitu pula dengan fenomena perubahan akhir kata atau i’rab, mengharuskan ada sesuatu “yang
menyebabkan” hal itu terjadi. Maka Khalil menamakan penyebab itu dengan ‘amil (yang berbuat) (‘Alamah, 1993:37-38).
‘Amil, Ma’mul dan ‘Amal
Dalam kaitannya dengan ‘amil, terdapat dua istilah yang merupakan rangkaian yang tidak dispisahkan satu sama lain, yaitu ma’mul dan amal. Ma’mul adalah kata yang bagian akhirnya berubah baik dengan rofa, nashab, jazam, atau khafadh karena pengaruh amil (Ghalayaini, 1987:274).[14]
Ma’mul terbagi dua, ma’mul asli (ashalah) dan ma’mul turunan (taba’yyah). Ma’mul asli ialah ma’mul yang dipengaruhi oleh amil secara langsung, seperti fa’il dan naibul fa’il, mubtada dan khabar, isim fi’il naqish dan khabarnya, isim inna dan akhwatnya serta khbarnya, maf’ul-maf’ul, hal, tamyiz, mustatsna, mudhaf ilaih, dan fi’il mudhari ) Ibid: 275).[15]
Sedang ma’mul turunan (tabaiyyah) ialah kata yang dipengaruhi ‘amil dengan perantara kata yang diikutinya, seperti naat, athaf, taukid, dan badal. Tawabi itu dirofakan, dinashabkan, dijarkan, dan dijazamkan karena mengikuti katasebelumnya yang dirofakan dinashabkan, dijarkan, dan dijazamkan. Dan yangmenjadi amil ialah kata yang diikutinya (matbu’) (Ibid). Adapun ‘amal ialah efek (atsar) yang dihasilkan dari pengaruh amil, yaitu
berupa i’rab rofa, nashab, khafadh, atau jazam (Ibid)
Fungsi ‘Amil
Mengenai fungsi ‘amil, Dr. Mohamed El Mukhtar Ould Bah (1996: 31) mengatakan bahwa ‘amil berfungsi sebagai dasar untuk menafsirkan sistem i’rab dan sebagai media penegasan kaidah-kaidah yang memiliki implikasi pada penggunaan kias dan penggalian ‘illat-‘illat.
Senada dengan Dr. Ould Bah, Abdul Karim al-Ra’idh (1988:319) mengungkapkan bahwa fungsi ‘amil adalah untuk menafsirkan fenomena i’rab. Yaitu untuk menafsirkan hubungan antara perubahan akhir kata
dengan perubahan makna serta kedudukannya dalam struktur kalimat.
Pandangan Ulama Nahwu tentang ‘Amil.
Pada awal kemunculannya, kajian nahwu hanya membahas seputar pencatatan data-data kebahasaan (bahasa Arab) serta menginduksinya, yang akhirnya menghasilkan teori salah satunya teori i’rab serta tanda-tanda (‘alamat). Pada periode selanjutnya adalah periode pencarian sebab dan alasan (‘illat) bagi teori yang telah ditemukan sebelumnya seperti teori i’rab (Al-Ra’idh, 1988:319).
Di antara para ulama yang bekerja keras pada periode ini adalah Imam Khalil
Ahmad al-Farahidi dan muridnya Sibawaih. Mereka telah mengahasilkan teori ‘amil sebagai tafsiran fenomena i’rab dalam tata bahasa Arab.
Pada periode selanjutnya teori ‘amil yang dicetuskan Khalil, dikembangkan
oleh para ulama nahwu serta dijadikan teori “mutlak” bagi kajian nahwu, seperti yang dilakukan Ibn Malik dan Ibn Ajurum. Dan awal abad ke-11 M. seorang ulama nahwu, yang bernama Abdul Qahir Al-Jurjani menyusun sebuah kitab yang ia beri judul Awamil al-Jurjani di mana secara khusus membahas masalah ‘amil.
Namun demikian, sebuah pemikiran walau dari orang yang dianggap lebih
unggul dan lebih dahulu di bidangnya tidak akan selalu mudah diterima oleh oleh
para orang-orang yang lahir setelahnya. Begitu juga dengan teori ‘amil, tidak
semua ulama nahwu menerima pemikiran para pendahulunya. Di antara ulama yang menolak teori ‘amil adalah Ibn Jinni (330-392 H) , seorang ulama nahwu besar setelah Sibawaih. Ia berpendapat bahwa sebenarnya yang merafakan, menashabkan, men-jar-kan, dan menjazamkan kata ialah si
mutakallim (pembicara) sendiri, tidak oleh sesuatu yang lain (Al-Qurthubi, tth:77).
Pendapat Ibn Jinni ini kemudian diikuti oleh Ibn Madha al-Qurthubi, seorang ulama nahwu dari Andalusia. Bahkan ia menambahkan bahwa ‘amil bagi i’rab semua kata adalah Allah swt., sebagaimana pada hakikatnya semua perbuatan manusia adalah ciptaan Allah swt (Ibid). Al-Anbari (1993: 46) menyanggah pendapat Ibn Jinni serta Ibn Madha dengan menegaskan bahwa ‘amil sebenarnya berupa “penujukan” (amarat wa dalalat) seperti “penunjukan” sesuatu yang terbakar akan adanya api. Penunjukan itu bisa terjadi ketika ada penunjuknya atau tidak ada. Analogi lain adalah jika seseorang ingin membedakan dua buah baju. Kemudia ia mencelup salah satunya, maka baju yang tidak dicelup sama posisinaya dengan baju yang dicelup.
Di antara para ulama nahwu ada yang melakukan kompromi salah satunya adalah al-Rahi. Ia berpendapat bahwa penyebab setiap makna dalam kata ialah si pembicara, begitu pula pembuat tanda-tanda (I’rabnya). Namun kemudian penandaan kata dengan ciri-ciri I’rab itu dipindahkan ke kata sebagai media yang mana ada di dalamnya. Dengan begitu predikat ‘amil yang ada pada mutakalim (manusia) pindah ke kata (bahasa) (Al-Ra’idh, 1988:371).