Counter

Followers

Kamis, 27 Februari 2014

HAKEKAT ANTROPOLOGI PENDIDIKAN



BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Sejak awal masehi hingga abad ke-19, Eropa dapat dikatakan menjadi pusat tumbuhnya peradaban dunia. Para ilmuan sangat menyadari akan perlunya secara khusus mempelajari kondisi dan perubahan social ketika itu. Para ilmuan itu kemudian berupaya membangun suatu teori social berdasarkan ciri-ciri  yang hakiki masyarakat pada setiap tahap peradaban manusia. Dan salah satu ciri-ciri yang hakiki dari manusia atau masyarakat adalah hal-hal yang akan kita bahas dalam ilmu antropologi.Kita perlu bahkan dapat dikatakan suatu keharusan bagi kita untuk dapat menguasai dan mengimplementasikan konsep-konsep dasar antropologi dalam kehidupan sehari-hari, karena obyek utama antropologi adalah manusia itu sendiri.



B.     RUMUSAN MASALAH
a)      Apa yang dimaksud dengan antropologi ?
b)      Apa itu antropologi pendidikan ?
c)      Bagaimana tahap-tahap antropologi ?
d)      Apa kegunaan antropologi secara umum ?
e)      Dan apa kegunaan antropologi pendidikan ?












BAB II
PEMBAHASAN
A.     Hakikat Antropologi Pendidikan
a)       Pengertian Antropologi
Sebelum kita membahas tentang antropologi pendidikan, terlebih dahulu akan dipaparkan tentang antropologi secara umum.
Menurut koentjaningrat, antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari  aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan. Berdasarkan tinjauan bahasa, antropologi dapat dijelaskan secara sederhana sebagai ilmu yang mempelajari manusia. Sedangkan menurut William A. Haviland antropologi adalah studi tentang umat manusia, yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keaneka ragaman manusia.
Dari beragam definisi tersebut, dapat dinyatakan bahwa antropologi adalah sebuah biadang ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan yang dihasilkannya sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan pada sekelompok manusia satu dengan yang laiinnya
b). . Tahapan-Tahapan Antropologi
Sejarah perkembangan antropologi juga bertahap-tahap seperti ilmu social lainnya. Daalam hal ini koentjaningrgat memetakan perkembangan antropologi kedalam empat fase atau tahapan, yaitu :
Fase pertama (sebelum tahun 1800-an)
Fase pertama dimulai sekitar abad ke- 15 dan 16, ketika bangsa-bangsa Eropa mulai berlomba-lomba melakukan penjelajahan atau petualangan (piracy) kke berbagai wilayah dunia di luar Eropa. Segala fenomena-fenomena yang mereka lihat dan alami selama mengarungi tujuh samudra dan bertemu dengan bangsa-bangsa lain di Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia itu mereka catat dalam buku harian maupun buku kisah perjalanan. Dan hal terpenting yang mereka catat berkenaan dengan bangsa lain adalh hal yang berkaitan dengan cirri-ciri fisik (ras), bahasa, kebudayaan, susunan masyarakat dan pola hidupnya. Kemudian catatan tersebut dikenal dengan istilah etnografiatau deskripsi tentang bangsa-bangsa. Etnografi tersebut banyak menarik perhatian para pelajar Eropa yang menyebabkan mereka meningkatkan perhatian mereka terhadap suku-suku bangsa di luar Eropa. Hingga abad ke-19 perhatian tersebut kian meningkat dengan adanya usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan catatan-catatan etnografi untuk dipelajari secara ilmiah.
Fase kedua (tahun 1800-an)
Pada fase ini, bahan-bahan etnografi telah lahir dalam bentuk karangan-karangan yang disusun berdasarkan cara berfikir evolusi masyarakat pada saat itu. Secara umum, diyakini bahwa masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama, ditandai dengan munculnya beragam setereo type terhadap berbagai bangsa di luar Eropa, seperti digunakannya istilah primitive, barbar, tertinggal dan sebagainya.
Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa primitive yang tertinggal dan menganggap bangsa Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya. Pada fase ini, antropologi dipaparkan sebagai bidang ilmu pengetahuan yang ditujukan dalam rangka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitive dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
Fase ketiga (awal abad 20-an)
Fase ini ditandai dengan kecenderungan Negara-negara Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Australia, dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Untuk mengatasinya, pemerintah-pemerintah colonial (Eropa) berupaya keras menemukan berbagai kelemahan-kelemahan suku bangsa asli agar mudah ditaklukkan. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, yang seluruhnya ditujukan untuk mendukung kepentingan colonial.
Fase keempat (setelah tahun 1930-an)
Fase ini ditandai dengan mulai hilangnya kekhasan budaya berbagai suku bangsa akibat pengaruh budaya Eropa pada daerah-daerah jajahan. Banyak bangsa di dunia yang terbawa arus perubahan social, politik dan pemikiran yang terjadi di Eropa akibat meluasnya paham-paham politik. Banyak bangsa semakin yang semakin memudar budaya salinya karena mengikuti perkembangan paham, budaya dan system politik Eropa.
Perang dunia I dan II yang sebenarnya perang antara bangsa Eropa sediri, turut dirasakan akibatnya oleh bangsa-bangsa di luar Eropa. Berbagai kehancuran, kesengsaraan, kemiskinan dan kesenjangan social akibat peristiwa tersebut turut dialami bangsa-bangsa jajahan. Perang dunia tersebut pada akhirnya membawa banyak perubahan dalam kehidupan umat manusia, tidak hanya Eropa sendiri, melainkan juga di seluruh bangsa di luar Eropa. Munculnya semangat kebangsaan, nasionalisme, menghinggapi banyak komunitas masyarakat jajahan dan menyuntikkan energy untuk melepaskan diri dari dominasi bangsa Eropa. Dan inilah yang menyebabkan kebudayaan tidak lagi hanya dipahami sebagai pola sikap dan perilaku bangsa-bangsa terasing, melainkan memasuki konteks yang lebih luas seperti konteks yang tidak dikenal sebelumnya yaitu seperti budaya politik, budaya perkotaan, budaya belajar SLTA dan mahasiswa dan mahasisiwi budaya kerja, budaya hippies dan sebagainya.
c). Kegunaan Antropologi
Kegunaan antropologi dalam masyarakat adalah untuk membantu masyarakat mempelajari perbedaan yang ada, dalam perbedaan itu masyarakat harus bisa belajar untuk bersatu tampa harus memandang perbedaan yang ada dalam masyarakat.
B.     Antropologi Pendidikan
a).  Pengertian Antropologi
Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses pembelajaran, pemberian pengetahuan, keterampilan dan sikap melalui pikiran, karakter serta kapasitas fisik dengan mengunakan pranata-pranata agar tujuan yang ingin dicapai dapat dipenuhi.   pendidikan dapat diperoleh melalui lembaga formal dan informal.penyampaian kebudayaan melalui lembaga informal tersebut dilakukan melalui enkulturasi semenjak kecil di dalam lingkungan keluarganya. Dalam masyarakat yang sangat kompleks, terspesialisasi dan berubah cepat. Pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam memahami kebudayaan sebagai suatu keseluruhan.
Dengan makin cepatnya perubahan kebudayaan, maka makin banyak diperlukan waktu untuk memahami kebudayaannya sendiri. Hal ini membuat kebudayaan di masa depan tidak dapat diramalkan secara pasti, sehingga dalam mempelajari kebudayaan baru diperlukan metode baru untuk mempelajarinya. Dalam hal ini pendidik dan antropolog harus saling bekerja sama, dimana keduanya sama-sama memiliki peran yang penting dan saling berhubungan. Pendidikan bersifat konservatif yang bertujuan mengekalkan hasil-hasil prestasi kebudayaan, yang dilakukan oleh pemuda-pemudi sehinga dapat menyesuaikan diri pada kejadian-kejadian yang dapat diantisipasikan di dalam dan diluar kebudayaan serta merintis jalan untuk melakukan perubahan terhadap kebudayaan
. Dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan maka antropologi bermanfaat bagi pendidikan. Dimana para pendidik harus melakkan secara hati-hati. Hal ini disebabkan karena kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat bersifat unik, sukar untuk dibandingkan sehingga harus ada perbandingan baru yang bersifat tentatif. Setiap penyeldikan yang dilakukan oleh para ilmuwan akan memberikan sumbangan yang berharga dan mempengaruhi pendidikan
Antropologi pendidikan dihasilkan melalui teori khusus dan percobaan yang terpisah dengan kajian yang sistematis mengenai praktek pendidikan dalam prespektif budaya, sehingga antropolog menyimpulkan bahwa sekolah merupakan sebuah benda budaya yang menjadi skema nilai-nilai dalam membimbing masyarakat.
Antropologi pendidikan merupakan sebuah kajian sistematik, tidak hanya mengenai praktek pendidikan dalam perspektif budaya, tetapi juga tentang asumsi yang dipakai antropologi terhadap pendidikan dan asumsi yang dicerminkan oleh praktek-praktek pendidikan.
Menurut Shomad (2009:1), antropologi pendidikan mengkaji penggunaan teori-teori dan metode yang digunakan oleh para antropolog serta pengetahuan khususnya yang berhubungan dengan kebutuhan manusia atau masyarakat. Dengan demikian, antropologi pendidikan bukan menghasilkan ahli-ahli antropologi melainkan menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang pendidikan melalui perspektif antropologi
            b). Ruang Lingkup Antropologi
Ralphlinton dalam Shomad (2009:3) menganggap kebudayaan adalah warisan sosial. Warisan sosial tersebut mempunyai dua fungsi. Pertama, fungsi bagi penyesuaian diri dengan masyarakat. Kedua, fungsi bagi penyesuaian diri dengan lingkungan.
Lebih lanjut, Shomad (2009:3-4), menjelaskan implementasi pendidikan sebagai penyesuaian diri dengan masyarakat, lingkungan dan kebudayaan sebagai bentuk ruang lingkup antroplogi pendidikan berlangsung dalam proses:
a. Proses sosialisasi:
Proses ini dimulai sejak bayi baru lahir. Bayi berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya, hingga terjadi komunikasi timbal balik dan seterusnya hingga ia tumbuh dan berkembang.
Adapun yang menjadi sorotan dalam proses sosialisasi yaitu:
1. adanya konflik oleh ketidakharmonisan antara keinginan pribadi, anak dengan tuntutan norma dan aturan yang berlaku
2. perbedaan status ekonomi dan letak geografis
b. Proses Enkulturasi
Enkulturasi, artinya pembudayaan. Yang dimaksud adalah proses pembudayaan anak agar menjadi manusia berbudaya.
Dalam proses ini pranata, yaitu sistem norma atau aturan-aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus. (Koentjaraningrat,1980:164).
Adapun yang biasa menjadi kajian dalam proses ini, yaitu:
1. Perbedaan jenis kelamin
2. Perbedaan umur
3. Perbedaan/perubahan status (inisiasi)

c. Proses Internalisasi
Proses internalisasi yaitu proses penerimaan dan menjadikan warisan sosial (pengetahuan budaya) sebagai isi kepribadian yang dinyatakan dalam perilaku sehari-hari selama hayat masih dikandung badan.
Dalam proses ini kita mendapatkan adanya perbedaan pada masing-masing individu berupa perbedaan kepribadian dan pengalaman.
            C). menggagas Antopologi Pendidikan Islam
Jika diperhatikan secara saksama, pelaksanaan pendidikan Islam selama ini tampak paradoks. Pada satu sisi dianggap unggul, namun pada tataran aplikasi dan juga hasil-hasilnya belum tampak keunggulannya itu. Terasa ada kesenjangan yang amat lebar antara tataran teoretik, yaitu konsep pendidikan yang dibangun dari wahyu dan contoh kehidupan Rasul-Nya dengan kenyataan-kenyataan  dalam praktik selama ini di lapangan.
Secara konseptual pendidikan Islam dianggap komprehensif dan sangat ideal, sehingga jika dilaksanakan akan berhasil mengantarkan seseorang menjadi lebih sempurna. Pendidikan Islam akan mampu mengantarkan seseorang mengenal Ke-Maha Esa-an Tuhan, para utusan-Nya, kitab suci-Nya, amal shaleh, dan akhlaqul karimah. Produk pendidikan seperti ini, akan unggul dibanding dengan pendidikan lainnya. Akan tetapi,  pada kenyataannya belum demikian.
Selain itu, pendidikan Islam, dan atau lebih sempit lagi pelajaran agama Islam, seringkali  ditempatkan pada posisi yang kurang strategis. Sekalipun keberadaannya telah didasarkan pada undang-undang, namun pelaksanaannya tidak terlalu dianggap penting. Guru agama tidak selalu diposisikan pada tempat strategis. Bahkan kadang  peran itu hanya sebagai tambahan. Selain mengajar, guru agama hanya bertugas memimpin doa. Tugas ini memang mulia di hadapan Tuhan, tetapi tidak selalu demikian di hadapan manusia.
Anggapan sederhana juga diberikan kepada lembaga pendidikan Islam. Kesan umum terhadap lembaga pendidikan agama adalah kurang maju, atau bahkan tertinggal, sederhana, berkualitas rendah, murah, kurang terawat. Jarang ditemukan lembaga pendidikan agama Islam diunggulkan. Jika itu ada maka jumlahnya amat terbatas.
Kesan sederhana  dalam  konotasi negatif itu semestinya dihilangkan. Citra pendidikan Islam harus diangkat dan diperjuangkan.  Pendidikan Islam telah memiliki konsep yang lebih unggul. Para elitenya memiliki kecakapan, semangat, serta kemauan berjuang untuk membangun lembaga pendidikan Islam yang unggul dan hingga diperhitungkan orang.
Jika pelajaran agama di sekolah hanya menyangkut tentang tauhid, fiqh, akhlak dan tasawuf, tarikh dan Bahasa Arab sebagaimana dikemukakan di muka, maka aspek-aspek itu hanyalah menyentuh persoalan agama. Jika  Islam hanya dipahami sebagai agama, maka perbincangan hanya menyangkut pada  persoalan masjid, shalat, zakat,  puasa, haji, kelahiran, nikah, kematian, waris dan sejenisnya. Akibatnya, sementara orang menganggap kajian Islam menjadi sesuatu yang sempit, tidak menarik dan kadang hanya diangap sebagai pelengkap.
Sementara orang mengharap,  dengan Islam ia menjadi maju, dinamis, progresif,  dan modern. Karena dianggap Islam seperti itu. Maka tuntutan itu sebenarnya juga tidak salah, karena Islam memang demikian keadaannya. Oleh karena itu, jika diharapkan Islam sebagai wajah kemajuan, modern dan progresif, maka pemahaman tentang Islam yang harus diperluas.  
 Perubahan wawasan Islam secara luas adalah sebuah keharusan. Jika Islam yang diajarkan di lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi sebagaimana yang terjadi selama ini, maka produknya akan tetap sama. Islam hanya sebagai agama yang  tidak akan membawa kemajuan. Kemajuan akan tercapai tatkala Islam dilihat secara utuh. Hanya persoalannya adalah beranikah kita memperkenalkan Islam secara utuh itu.
Seringkali perubahan, apalagi  terkait dengan keyakinan, sangat berisiko. Persoalan keyakinan menyangkut hal yang peka. Jika tidak hati-hati akan melahirkan salah paham, dianggap akan mengubah-ubah keyakinan. Padahal sebenarnya juga akan mengajak untuk memahami ajaran itu secara lebih utuh atau komprehensif. 
Pemikiran tersebut sebenarnya bukan hal baru. Telah lama disadari oleh banyak orang, bahwa dengan pespektif seperti itu, maka Islam tidak akan maju. Akan tetapi dalam berbagai diskusi, orang selalu kembali, Islam dianggap sebagai sebatas agama. Pernah suatu ketika diselenggarakan seminar tentang  sistematika ajaran Islam. Semula ajaran Islam dilihat sedemikian luas, tetapi rumusannya kembali pada pandangan sediakala itu.
Namun akhir-akhir ini keinginan untuk menampilkan Islam secara luas dan komprehensif semakin terasakan.  Bahkan akhir-akhir ini, muncul semangat untuk mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum. Hingga Menteri Agama sendiri —terakhir  Suryadharma Ali— dalam  berbagai kesempatan mengatakan bahwa tidak selayaknya ada pembagian ilmu secara dikotomik seperti dipahami oleh banyak orang selama ini.
Bahkan setahu saya, kegelisahan yang disebabkan oleh cara pandang terhadap Islam hanya sebatas ritual, terjadi di mana-mana. Semangat untuk mengintegrasikan antara ilmu agama dan ilmu umum yang tidak saja terjadi di Indonesia, adalah sebagiannya didorong oleh kegelisahan itu. Munculnya fenomena perubahan beberapa IAIN dan STAIN menjadi universitas, adalah sebagai wujud ingin menampilkan Islam secara utuh.  Fenomena itu ternyata tidak saja terjadi di Indonesia,  tetapi juga muncul di beberapa negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Sebuah Tawaran Pendidikan Islam Progresif
Untuk memberikan alternatif agar Islam dilihat secara utuh melalui pendidikan, seseorang telah melakukan perenungan  dalam tempo yang lama. Hasilnya dia mendapatkan gambaran bahwa Islam sebenarnya bisa dilihat dari perspektif  sebagai berikut, yaitu dapat dilihat dari fase-fase turunnya al-Qur’an. dia berpandangan bahwa sumber ajaran Islam adalah al-Qur’an dan hadits. Oleh karena itu, dalam  menyusun sistematika ajaran Islam, di antaranya  bisa mengikuti fase-fase turunnya kitab suci dan juga tugas-tugas kerasulan.
Ada lima aspek yang seharusnya dikaji untuk memahami Islam. Kelima aspek itu adalah sebagai berikut. Pertama, adalah tentang ilmu. Mempelajari ilmu pengetahuan adalah bagian dari pemenuhan dari perintah Islam. Hal itu didasarkan bahwa ayat al-Qur’an yang turun pertama kali adalah terkait dengan perintah membaca. Sedangkan membaca merupakan pintu utama untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Sudah barang tentu, membaca di sini harus dimaknai dalam pengertian yang luas. Membaca bukan sebatas pengertian untuk memahami tulisan-tulisan dalam buku, tetapi bisa dimaknai sebagai membaca alam semesta.
Kegiatan membaca dimulai dari membaca gejala-gejala alam, seperti biologi, fisika, kimia dan matematika dengan berbagai cabangnya masing-masing, termasuk yang bersifat aplikatif, seperti teknik, kedokteran, pertanian, kelautan dan seterusnya. Termasuk juga membaca perilaku manusia yang disebut sebagai ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Perilaku sosial bisa dilihat dari susut pandang sosiologi, psikologi, sejarah dan antropologi. Sedangkn dari sudut humaniora terdiri atas filsafat, bahasa, sastra, dan seni.
Pemahaman seperti itu sesungguhnya relevan dengan tugas-tugas kerasulan sebagai berikut. Pertama, melakukan tilawah terhadap ayat-ayat Allah. Yang dimaksudkan dengan ayat-ayat Allah, tidak lain adalah jagad semesta ini. Tugas Rasul yang harus diikuti oleh umatnya adalah bagaimana memahami ciptaan Allah baik di langit maupun di bumi. Sudah barang tentu, dalam mengkaji ayat-ayat Allah dengan motivasi beribadah, maka seharusnya akan melahirkan sikap pengakuan, kesadaran dan keyakinan hingga mengantarkannya pada puncak keimanan yaitu kemudian bertasbih, bertakbir dan bertakhmid.     
Kedua,menyangkut tentang penyucian diri, atau tazkiyah. Bahwa dengan ber-Islam maka seseorang hendaknya selalu selektif dalam berperilaku, baik yang terkait dengan dirinya sendiri maupun orang lain dan bahkan juga dengan lingkungahn yang luas. Melalui pensucian diri itu maka manusia akan selalu memperbaiki watak, kharakter, perilaku dan akhlaknya.
 Sebagai bagian dari upaya menyucikan diri maka seseorang harus menjaga hatinya, tutur katanya, perbuatannya, pergaulannya, harta benda yang dimiliki,  dan juga makanannya. Dalam kaitannya untuk menjaga hati, maka seseorang tidak boleh sombong, rakus, iri hati, tinggi hati, suka permusuhan, berbohong, menipu,  dengki pada  orang lain, su’uzhzhan dan sifat-sifat buruk lainnya. Sebaliknya, harus mengembangkan sifat jujur, adil, ikhlas, syukur, sabar, amanah dan istiqomah. Semua ini terkait dengan upaya untuk menjaga diri atau tazkiyatun nafsu.
Hal lain yang termasuk tazkiyatun nafs adalah bahwa dalam mencari harta atau rizki, harus menjaganya, agar semua harta benda yang diperoleh dan makanan yang dikonsumsi sehari-hari harus dipilih yang baik, halal,  dan berbarakah. Dalam hal rizki dalam Islam tidak diukur dari aspek banyaknya, melainkan dari sifat harta itu, ialah halal dan baik. Demikian pula dalam berkomunikasi, harus didasari oleh kasih saying, saling menghormati dan menghargai. Oleh karena itu, maka kata-kata dalam al-Qur’an dibedakan, misalnya disebut qawlan karima, qawlan syadida, qawlan ma’rufa, qawlan baligha, qawlan layyina, qawlan khafifa, qawlan tsaqila. Pembedaan dan pilihan itu dimaksudkan untuk membangun agar komunikasi dan selanjutnya kesucian masing-masing senantiasa terjaga.
Ketiga,menyangkut tentang tatanan sosial. Islam memberikan konsep yang jelas tentang bagaimana kehidupan ini ditata agar terjadi keadilan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Pada saat nabi dilahirkan di kota Makkah, bangsa Arab dikenal terdiri atas para kabilah-kabilah. Di antara kabilah-kabilah itu saling bersaing berebut kekuasaan, prestise, kehormatan  dan juga harta benda. Maka terjadilah penindasan yang luar biasa. Mereka yang lemah tidak ditolong, melainkan justru ditindas.
Pada saat itu, kehormatan orang, termasuk wanita, anak yatim, dan orang miskin tidak mendapatkan tempat yang semestinya. Ilmu pengetahuan tidak dibangun. Mereka hanya membangun kekuasaan dan pemilikan harta secara berlebih-lebihan. Perbudakan terjadi. Budak tidak saja dipekerjakan secara tidak manusiawi, melainkan juga diperjual-belikan. Itulah tatanan sosial yang pincang, tidak adil, manusia tidak diperlakukan sebagaimana harkat dan martabatnya
Islam hadir untuk memperbaiki itu semua, baik dari aspek ekonomi, politik, sosial, budaya dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, maka bisa disebutkan bahwa Islam hadir di muka bumi bukan sebatas mengajak orang untuk menjalankan ritual, memenuhi tempat ibadah, melainkan lebih dari itu, adalah untuk membangun tatanan sosial yang berkulitas. Selama ini konsep-konsep tentang tatanan sosial dalam Islam masih terlupakan.
Keempat,Islam memberikan pedoman ritual. Selama ini aspek tersebut   telah mendapatkan perhatian yang cukup banyak.  Bahkan  yang selama ini  ditangkap oleh umatnya secara penuh adalah Islam dalam  aspek ritual ini. Kita lihat pelajaran agama dan juga kelembagaan pendidikan agama Islam di perguruan tinggi Islam, lebih menekankan pada aspek ritual ini. Oleh karena itu, sejak awal diperkenalkan tentang rukun Islam, rukun iman, tentang bersuci, shalat, puasa, haji, berdoa dan seterusnya. Demikian pula pembagian keilmuan hingga di perguruan tinggi Islam lebih banyak menekankan tentang itu.
Kelima,tentang amal saleh atau bekerja  secara profesional. Sedemikian banyak ayat al- Qur’an tatkala menyebut iman selalu diikuti dengan sebutan amal saleh. Semestinya amal saleh harus dimaknai sebagai bekerja  secara lurus, tepat, benar,  dan bahkan juga profesional. Bekerja secara profesional harus didasarkan pada ilmu atau pengetahuan yang cukup memadai. Selama ini rasanya, amal saleh belum dimaknai  sebagaimana mestinya.
Implementasi Pendidikan Islam Progresif
Membangun pendidikan Islam Progresif  harus dimulai dari cara pandang terhadap Islam itu sendiri. Islam harus diyakini bukan saja sebatas agama, melainkan adalah juga sebagai sebuah peradaban. Islam harus dipandang sebagai ajaran yang utuh dan komprehensif. Harus dipandang pula bahwa mengembangkan  ilmu pengetahuan adalah bagian terpenting dari Islam.
Selain itu, umat Islam tidak cukup hanya mengimani ayat-ayat qauliyah, melainkan memerlukan ayat-ayat kawniyah. Kedua sumber ilmu pengetahuan tersebut harus dilihat secara bersama-sama dan padu.  Keduanya harus diposisikan pada tempatnya masing-masing yang semestinya,  dan tidak perlu dihadap-hadapkan untuk saling dikonfrontasikan.
Sementara orang sangat mengimani ayat-ayat qawliyah, tetapi sebaliknya kurang mempercayai terhadap ayat-ayat kawniyah, sehingga banyak mengalami ketertinggalan. Sebaliknya banyak orang yang terlalu mengimani ayat-ayat kawniyah dan kurang peduli pada ayat-ayat qauliyah sehingga mengalami kesesatan dalam hidupnya. Umat Islam seharusnya tidak sesat dan juga tidak mengalami kerugian. Maka, cara yang tepat sebagaimana ajaran Islam itu sendiri memberikan tuntutan, seharusnya  umat Islam merujuk  dua sumber ilmu tersebut, yaitu ayat-ayat qawliyah dan ayat-ayat kawniyah.
Atas dasar pandangan  itu, maka kurikulum pendidikan Islam harus dilakukan reformulasi. Pendidikan Islam tidak hanya dimaknai secara terbatas, yaitu sebagai pengajaran beritual, melainkan dikembangkan menjadi lebih luas, menyangkut ilmu pengetahuan, penyucian diri, menjelaskan tentang tatasan sosial dan bekerja secara profesional. Dengan cra ini, insya Allah ke depan pendidikan Islam akan melahirkan orang-orang yang unggul di atas keunggulan Islam itu sendiri.








                         





.





KESIMPULAN
antropologi adalah sebuah biadang ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan yang dihasilkannya sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan pada sekelompok manusia satu dengan yang lainnya.
Antropologi pendidikan merupakan sebuah kajian sistematik, tidak hanya mengenai praktek pendidikan dalam perspektif budaya, tetapi juga tentang asumsi yang dipakai antropologi terhadap pendidikan dan asumsi yang dicerminkan oleh praktek-praktek pendidikan.
Tahap –tahap antropologi terdiri dari empat fase yaitu fase pertama sebelum tahun 1800 –an, fase kedua tahun 1800 –an, fase ketiga yaitu awal abad 20 –an, dan fase ke empat adalah setelah tahun 1930 –an .
Antropologi berguna untuk membantu manusia atau masyarakat agar dapat mengetahui kebudayaan dan kebiasaan serta untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam perspektif antropologi. Sedangkan antropologi pendidikan berfumgsi sebagai forum atau cara untuk mencapai maksud dari tujuan antropologi itu sendiri.















DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Jakarta :Rineka Cipta, 2005.


























 








Tidak ada komentar:

follow me in

adv



From: http://www.nusaresearch.net/public/recommend/recommend

clik me

yours comment here