Counter

Followers

Selasa, 18 Februari 2014

FUTUWWAH



a.    Pengertian
Futuwwah  berasal dari kata “fata” yang secara etimologi berarti pemuda yang tampan dan gagah berani[1].. dalam bahasa Arab futuwwah berarti Kekesatriaan spiritual, futuwwah dalam bahasa Persia disebut jawan mardi, dan dalam bahasa Inggeris dapat diterjemahkan sebagai mystical youth atau spiritual chivalry. Secara harfiyah/etimologi  futuwwah adalah  jalan hidup para pejuang ruhani (spiritual warriorship)[2].Makna futuwwah lebih terkait kepada kepemudaan dalam hubungannya dengan mata air kehidupan spiritual yang abadi, bukan hanya kepemudaan dalam arti fisik.
 Didalam alqur’an surah al-anbiya ayat 60, kata fata merujuk kepada keberanian nabi ibrohim a.s. dalam menghancurkan berhala-berhala yang disembah kaumnya. Dikalangan sufi sendiri, futuwwah kemudian dikmaknai sebagai aturan tingkah laku terpuji yang mengikuti teladan nabi, wali, orang-orang bijak, serta para sahabat dan kekasih allah. Pengarang Manazilus-Sa'irin, berkata, "Inti futuwwah artinya engkau tidak melihat kelebihan pada dirimu dan engkau tidak merasa memiliki hak atas manusia"[3].
Setiap pelaku yang meneladani jalan ini juga disebut Fata yang secara harfiah (bahasa) berarti Pemuda yang tampan (akhlaqnya) dan gagah berani (dalam menegakkan kebenaran dan keadilan). Kata Fata, uniknya, baik dalam bentuk tunggal ataupun jamak (fityah) hanya tersebut dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan anak muda yang berperilaku baik. Nabi Ibrahim dalam surat Al Anbiya ayat 60, kemudian para pemuda penghuni gua surat Al Kahfi 10-13, juga murid Nabi Musa (Yusya bin Nun) di dalam surat Al Kahfi ayat 60 dipanggil al-fata atau al-fityah. Sementara kata Ghulam (juga berarti anak muda) kadang-kadang disebut di dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan anak muda yang ber akhlaq buruk, surat Al Kahfi ayat 74 menceritakan seorang anak muda yang dibunuh Nabi Khidr karena (terlihat) berperangai buruk dan bila dibiarkan dapat mendorong ke 2 orang tuanya ke dalam kesesatan.
Memiliki sifat futuwwah berarti dihiasi oleh sifat keberanian, syajaah dan kedermawanan yang berhubungan dengan kekesatriaan yang bergerak menuju jenjang makna yang paling tinggi dari alam tindakan lahiriah menuju alam kehidupan spiritual, tetapi tanpa menafikan dunia tindakan lahiriah. Karena itu, penerjemahannya sebagai “kekesatriaan spiritual” lebih menonjolkan konsep dasar Islam ini daripada segala ekspresi lainnya, yang realitasnya telah mengejawantah dalam begitu banyak bidang, dari aktivitas serikat pekerja di pasar-pasar hingga aktivitas-aktivitas para kesatria di medan tempur, dari dunia kontemplatif sufi hingga dunia para sultan dan wazir[4]. Selama berabad-abad banyak substansi spiritual jiwa muslim telah dibentuk oleh futuwwah dan hingga dewasa ini seorang muslim tradisional terpesona, takzim, dan memercayai pribadi yang mengejawantahkan “kekesatriaan spiritual” ini.
Di dalam sejarah perjuangan umat Islam pada masa Nabi Muhammad SAW,  menantu kesayangan beliau yang juga murid terdekat beliau yaitu Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karromallohu Wajhah adalah yang pertama mengimplementasikan konsep Futuwwah kedalam kode perilaku (code of conduct) para Pejuang Islam di dalam setiap pertempuran. Puncak dari penjabaran Futuwwah adalah dalam perang Uhud, yang dalam keadaan terdesak beliau memimpin satuan kawal kecil yang membentengi Nabi Muhammad SAW dan menyambut kedatangan setiap musuh yang menerjang sebelum mampu mendekati Nabi umat Islam. Ditengah hiruk pikuk suasana pertempuran dengan keberanian dan keterampilan Sayyidina Ali mematahkan setiap serangan menuju Nabi SAW, terdengarlah suara menyeru dari seorang yang tak terlihat dan diduga itualah suara Malaikat Jibril,”La sayfa illa dzulfiqar walaa Fataa illa Aliy !” Yang artinya : “Tak ada pedang kecuali pedang dzulfiqar (milik Ali pemberian Nabi Muhammad SAW) dan tak ada Pemuda (yang gagah berani) kecuali Ali !” Seruan ghaib ini dicatat dalam sejarah baik dari jalur Sunni (Riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Atsir) juga dari jalur Syi’ah.
Terdengarnya kata Al-Fata dalam seruan ghaib ini menorehkan sejarah emas bagi umat yang baru tumbuh dan menghadapi cobaan besar. Sebagai Al-Fata yang pertama dikalangan sahabat Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Ali karromallohu wajhahu mendapat gelar kehormatan seperti Nabi Ibrahim AS ketika beliau berani menghancurkan berhala-berhala kecil dan meninggalkan kampak di dada berhala yang besar, berhala yang semuanya mendapat penghormatan dan perlindungan dari Penguasa setempat. Al-Qur’an surat Al Anbiya 60 merekam kisah ini : mereka berkata, “Kami dengar ada seorang Fata (Pemuda) yang berani menghina berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim”.
Seharusnya pemuda-pemudi generasi penerus ummat islam dengan semangat futuwwah dapat mengungkapkan makna sebenarnya tentenag rasa haru, kasih saying, cinta, persahabatan, kedermawanan, pengabdian kepentingan sendiri, keramahtamahan, dan tindakan-tindakan yang muliayang sesuai dengan kebajikan-kebajiakn tersebut.
Istilah futuwwah tidak disebutkan di dalam Al-Qur'an, As-Sunnah maupun orang-orang salaf. Tapi istilah ini muncul pada era setelah itu yang berarti akhlak yang baik. Yang awal mula menggunakan istilah ini adalah Ja'far bin Muhammad, Al-Fudhail bin Iyadh, Al-Imam Ahmad, Sahl bin Abdullah dan Al-Junaid.
b.   Tingkatan-tingkatan futuwwah
Dikisahkan bahwa Ja'far bin Muhammad pernah ditanya seseorang tentang futuwwah ini. Dia tidak langsung menjawab, tapi justru balik bertanya kepada penanya itu, "Apa komentarmu?" Orang itu menjawab, "Jika engkau diberi, maka engkau bersyukur, dan jika tidak diberi, maka engkau bersabar." Ja'far berkata, "Anjing pun di tempat kami juga bisa begitu." Orang itu bertanya, "Wahai anak keturunan Rasulullah, kalau begitu apa maknanya menurut kalian?" Ja'far menjawab, "Jika kami diberi, makan kami lebih suka memberikannya kepada orang lain lagi, dan jika kami tidak diberi, maka kami bersyukur."
Manusia berbeda-beda tingkatannya dalam masalah ini. Yang paling tinggi adalah yang seperti ini, dan yang paling rendah adalah kebalikannya. Sedangkan yang pertengahan adalah yang tidak melihat kelebihan dirinya, tapi dia melihat adanya hak terhadap orang lain. Ada tiga derajat futuwwah, yaitu:
1.      Meninggalkan permusuhan, pura-pura melalaikan kesalahan orang lain dan melupakan gangguan orang lain. Untuk menunjukkan futuwwah, engkau tak perlu memusuhi seseorang dan tidak menempatkan dirimu sebagai musuh bagi seseorang. Derajat ini ada tiga macam:
·         Tidak memusuhi seseorang dengan lisannya
·         Tidak memusuhinya dengan hatinya
·         Di dalam pikirannya tidak terlintas keinginan untuk memusuhinya.
 Hal ini berkaitan dengan hak dirinya. Tapi jika berkaitan dengan hak Allah, maka futuwwah ini justru harus ditunjukkan dengan cara memusuhi karena Allah dan bersama Allah serta menyerahkan hokum kepada Allah, seperti doa iftitah yang dibaca Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Karena-Mu aku berperang dan kepada-Mu aku menyerahkan hukum."
   Pura-pura melalaikan kesalahan orang lain artinya, jika engkau melihat dia melakukan kesalahan yang menurut syariat harus ada sangsi hukuman, maka buatlah seakan-akan engkau tidak melihatnya. Yang demikian ini lebih baik daripada menyembunyikan kesalahannya itu, padahal engkau melihatnya.
   Abu Ali Ad-Daqqaq menuturkan, bahwa ada seorang wanita yang menemui Hatim dan menanyakan suatu masalah kepadanya. Pada saat itu tanpa disengaja wanita tersebut kentut, sehingga dia merasa sangat malu. Hatim berkata, "Bicaralah yang keras!" Wanita itu langsung menampakkan rona kegembiraan, karena dia mengira Hatim tuli atau tidak normal pendengarannya. Wanita itu berkata, "Kalau begitu dia tidak mendengar suara kentutku." Karena kejadian ini Hatim dijuluki Hatim si tuli. Tindakan Hatim seperti ini bisa disebut separoh futuwwah.
   Engkau juga harus melupakan gangguan orang lain terhadap dirimu, agar hatimu menjadi bersih dan engkau tidak melancarkan balasan atau kebencian kepadanya.
2. Mendekati orang yang menjauhimu, memuliakan orang yang menyakitimu, memaafkan orang yang berbuat jahat kepadamu, lapang dada dan bukan amarah, kasih-mengasihi dan bukan menahan-nahan diri serta pura-pura sabar.
  Derajat ini lebih tinggi dan lebih sulit dari sebelumnya, karena derajat pertama hanya meninggalkan permusuhan dan pura-pura lalai, sedangkan derajat ini mengandung sikap santun kepada orang yang justru berbuat tidak baik dan jahat kepadamu. Kebaikan dan kejahatan merupakan dua garis sejajar yang tidak bertemu pada satu titik. Siapa yang ingin memahami derajat ini sebagaimana lazimnya, maka hendaklah dia melihat perikehidupan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Pergaulan beliau bersama manusia. Tidak ada yang lebih sempurna dalam masalah ini selain beliau, kemudian para pewaris beliau, termasuk pula Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah. Rekan-rekannya berkata, "Aku ingin sikapku terhadap teman-temanku seperti sikapnya terhadap musuh-musuhnya." Menurut yang saya lihat, dia tidak pernah mendoakan kecelakaan bagi seorang pun di antara orang-orang yang memusuhinya, tapi beliau senantiasa berdoa bagi keselamatan mereka.
  Suatu hari saya menemui SyaikhulIslam untuk mengabarkan kematian seseorang yang paling gencar memusuhinya dan bahkan menyakiti serta mengganggunya. Rupanya dia tidak suka dengan cara penyampaianku ini. Setelah mengucapkan inna lillahi dia bangkit dari duduknya lalu datang ke rumah keluarga orang yang meninggal itu. Dia berkata, "Aku akan menjadi wakilnya bagi kalian. Jika kalian membutuhkan suatu pertolongan dariku, maka aku pasti akan menolong kalian." Mereka sangat gembira mendengarnya dan tak tergambarkan rasa terima kasih mereka. Memaafkan orang yang berbuat jahat kepadamu, memang sepintas lalu agar sulit untuk dipahami. Karena bagaimana mungkin kejahatan harus dimaafkan begitu saja?
Pemahaman lebih jauh, engkau tidak perlu menjatuhkan hukuman kepadanya atas kejahatannya terhadap dirimu. Lalu buatlah pergaulan dengan manusia semacam ini muncul darikelapangan dadamu dan tenggang rasamu, bukan dengan cara menahan-nahan amarah, dengan dada yang menyesak dan memaksakan kesabaran, karena yang demikian ini sama dengan pemaksaan yang cepat akan berubah, lalu akhirnya membuka sifatmu yang asli, yaitu tidak bisa memaafkan kesalahan orang lain dan tidak lapang dada.
3. Tidak bergantung kepada bukti penunjuk dalam perjalanan, tidak mengotori pemenuhan hak Allah dengan pengganti dan tidak menegakkan kesaksian kepada rupa.
Inilah tiga perkara yang terkandung di dalam derajat ini. Tidak bergantung kepada bukti penunjuk dalam perjalanan, artinya, orang yang mengadakan perjalanan kepada Allah berpijak kepada keyakinan, bashirah dan kesaksian. Jika dia bergantung kepada bukti penunjuk dan ramburambu jalan, berarti dia belum mencium bau keyakinan. Karena itu para rasul tidak menyeru menekankan ajakan untuk menyatakan adanya Pencipta, tetapi menyeru mereka untuk menyembah dan mengesakanNya. Untuk pengakuan tentang adanya Allah, maka seruannya sudah pasti tanpa disertai keragu-raguan sedikit pun, seperti firman Allah : "Rasul-rasul mereka berkata, 'Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?" (Ibrahim: 10).
 Dalam memenuhi hak Allah, maka engkau tidak boleh meminta imbalan. Pemenuhanmu terhadap hak Allah harus dilakukan secara tu-lus, dilandasi cinta dan mencari apa yang dicintai-Nya, tidak mengotorinya dengan tuntutan pengganti dan imbalan, karena yang demikian ini sama sekali tidak mencerminkan futuwwah. Siapa yang tidak menuntut dari selain Allah dan tidak menodainya dengan imbalan yang dimintanya, tapi dilakukan atas dasar cinta dan mengharapkan Wajah Allah, pada hakikatnya dia telah beruntung mendapatkan pengganti dan imbalan.
 Selagi imbalan ini bukan merupakan tujuannya, maka dia justru mendapatkan bagian yang lebih banyak, dia terpuji dan disyukuri. Taruhlah bahwa engkau mempunyai empat orang budak: Yang pertama, menghendakimu dan tidak menghendaki darimu, yang kehendaknya tergantung kepada dirimu dan keridhaanmu. Kedua, menghendaki darimu dan tidak menghendakimu, yang hanya sibuk dengan imbalan dan bagian yang harus diterimanya. Ketiga, yang menghendakimu dan menghendaki darimu. Keempat, yang tidak menghendakimu dan tidak menghendaki darimu. Maka yang engkau pilih dan yang paling engkau cintai dari empat budak ini adalah yang pertama, yaitu yang menghendakimu dan tidak menghendaki bagian darimu. Begitulah keadaan kita di hadapan Allah.
  Tidak menegakkan kesaksian kepada rupa, artinya tidak melandaskan kesaksian terhadap hal-hal yang tampak seperti yang sudah dijelas-kan di bagian terdahulu. Kesaksian yang benar mampu meniadakan hal-hal yang nyata dan rupa-rupa yang bisa mengecoh. Maksudnya, semua makhluk tidak dianggap sebagai sesuatu yang agung. Menurut ilmu orang-orang yang khusus, mencari cahaya hakikat berdasarkan tuntutan bukti penunjuk, tidak diperbolehkan bagi orang yang me-ngaku memiliki futuwwah. Jika terhadap musuhmu saja engkau tidak perlu menuntut maaf dan pembuktian tentang kebenaraan maafnya, maka bagaimana mungkin engkau menuntut bukti tauhid dan ma'rifat terhadap Pelindung dan Kekasihmu, kekuasaan dan kehendakNya. Tentu saja hal ini bertentangan dengan futuwwah dari segala segi. Jika ada seseorang mengundangmu untuk datang ke rumahnya, lalu engkau berkata kepada utusannya, "Aku tak akan pergi bersamamu ke rumahnya, kecuali apabila engkau memberikan bukti tentang keberadaan orang yang mengundangmu", berarti engkau adalah orang yang membual dan terlalu hina untuk memiliki futuwwah. Lalu bagai-mana mungkin engkau menuntut bukti dari Allah, yang keberadaan-Nya, keesaan, kekuasaan, Rububiyah dan Uluhiyah-Nya lebih nyata dari segala bukti dan dalil.

Tidak ada komentar:

follow me in

adv



From: http://www.nusaresearch.net/public/recommend/recommend

clik me

yours comment here