Counter

Followers

Selasa, 28 Januari 2014

Qiyas...


A.       Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa, artinya “mengukur sesuatu dengan lainnya dan mempersamakannya. ”Menurut istilah, “qiyas adalah menetapkan sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya, berdasarkan sesuatu hukum yang sudah ditentukan oleh nash, disebabkan adanya persamaan di antara keduanya.”
Qiyas juga merupakan menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya didalam al-qur’an dan as-sunnah atau al-hadits dengan  hal (lain) yang hukumnya disebut dalam al-qur’an dan sunnah rasul (yang terdapat dalam kitab-kitab hadits karena persamaan ‘illat (penyebab atau alasan) nya.[1]
Menurut H.M. Rasjidi, qiyas adalah ukuran yang dipergunakan oleh akal budi untuk membandingkan suatu hal dengan hal lain.
Sebagai contoh dapat dikemukakan larangan meminum khamar (sejenis minuman yang memabukkan yang dibuat dari buah-buahan) yang tedapat dalam al-qur’an surat al-ma’idah (5) ayat 90.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ  
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
yang  menyebabkan minuman itu dilarang adalah ‘illatnya yakni memabukkan. Sebab minuman yang memabukkan, dari apapun ia dibuat, hukumnya sama dengan khamar yaitu dilarang untuk dimunum. Dan untuk menghindari akibat buruk meminum minuman yang memabukkan itu, maka dengan qiyas pula ditetapkan semua minuman yang memabukkan apapun namanya, dilarang diminum dan diperjualbelikan untuk umum.
B.        Kedudukan Qiyas sebagai Dasar Hukum
Qiyas menurut para ulama adalah hujjah syari’ah yang keempat sesudah Alqur’an, hadis  dan ijma’.
Dasarnya adalah firman Allah SWT.
(#rçŽÉ9tFôã$$sù Í<'ré'¯»tƒ ̍»|Áö/F{$#
Artinya :
Hendaklah kamu mengambil I’tibar (pelajaran) hai orang-orang yang berfikir.
Karena I’tibar artinya “Qiyasusysysai-I bissysyai-I =membanding sesuatu dengan sesuatu yang lain.”
Dalam sebuah ayat yang telah disebutkan diatas, bahwa ketika Nabi SAW mengutus Mu’az bin Jabal menyetujui mengambil keputusan  dengan menggunakan Arra’ya, jika tidak ada penjelasan dalam Al-qur’an dan Assunah, Arra’yu itu menggunakan kemampuan berpikir dan Qiyaspun bagian dari Arra’yu juga
Jumhur ulama kaum muslimin jugs sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs.4:59)
Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas
.
C.       Rukun Qiyas dan contohnya
Rukun Qiyas ada empat yaitu :[2]
a.    Ashal (pangkal) :sumber hukum yang berupa nash-nash yang menjelaskan tentang hokum, atau wilayah sumber hokum/yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan.
(musyargbbah-bih = tempat menyerupakan).
b.   Far’un (cabang), sesuatu yang tidak ada ketentuan nash/yang diukur (musyabbab=yang diserupakan).
c.    ‘Illat, yaitu sifat yang menghubungkan pangkal dan cabang/alasan serupa antara asal dan far’ (cabang)
d.   Hukum, r'yaitu hokum yang digunakan qiyas untuk memperluas hokum dari asal ke far’ (cabang)/yang ditetapkan pada far’I sesudah tetap pada Ashal.
Contoh :
Allah telah mengharamkan arak, karena merusak akal, membinasakan badan, Arak menghabiskan harta. Maka segala minuman yang memabukka dihukum haram juga.
Arak disebut ashal, segala minuman yang memabukkan disebut far’u, merusak akal disebut illat dan haram adalah hukumnya.
‘Illat itu tidak boleh bertentangan dengan nash, jika bertentangan maka yang dimenangkan adalah nashnya.


Contoh:
Sebagian ulama berpendapat bahwa perempuan dapat melakukan nikah tanpa izin walinya (tanpa wali), dwngan alasan bahwa perempuan dapat memiliki dirinya dan diqiyaskan kepada bolehnya menjual harta bendanya sendiri. Qiyas tersebut tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan nash hadits Nabi SAW yang artinya : Barang siapa perempuan menikah tanpa seijin walinya (tanpa wali), maka nikahnya tidak sah. (H.R. Ibnu Hibban dan Hakim)[3]

D.        Syarat-syarat Qiyas
1)         Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat darinya
Qiyas yang bertentangan dengan apa yang telah disebutkan dinamakan sebagai     anggapan yang rusak (فاسد الاعتبار)
Contohnya : dikatakan : bahwa wanita rosyidah (baligh, berakal, dan bisa mengurus diri sendiri) sah untuk menikahkan dirinya sendiri tanpa wali, diqiyaskan kepada sahnya ia berjual-beli tanpa wali. Ini adalah qiyas yang rusak karena menyelisihi nash, yaitu sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam:
لاَ نِكَاح إِلاَّ بِولِي
"Tidak ada nikah kecuali dengan wali."

2)         Hukum ashl-nya tsabit (tetap) dengan nash atau ijma'.
 Jika hukum ashl-nya itu tetap dengan qiyas maka tidak sah mengqiyaskan dengannya, akan tetapi diqiyaskan dengan ashl yang pertama, karena kembali kepada ashl tersebut adalah lebih utama dan juga karena mengqiyaskan cabang kepada cabang lainnya yang dijadikan ashl kadang-kadang tidak shohih.  karena mengqiyaskan kepada cabang, kemudian mengqiyaskan cabang kepada ashl; menjadi panjang tanpa ada faidah.
Contohnya : dikatakan riba berlaku pada jagung diqiyaskan dengan beras, dan berlaku pada beras diqiyaskan dengan gandum, qiyas yang seperti ini tidak benar, akan tetapi dikatakan berlaku riba pada jagung diqiyaskan dengan gandum, agar diqiyaskan kepada ashl yang tetap dengan nash.



[1]Mohammad Daud Ali, hukum islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006) h. 120
[2]Amir Syarifuddin, jilid I ushul fiqh (Jakarta:PT. Logos Wacana Ilmu, 1997) h.351-352
[3]Ahmad Hanafie, usul fiqh (Jakarta: WIDJAYA, 1975) h. 129








Tidak ada komentar:

follow me in

adv



From: http://www.nusaresearch.net/public/recommend/recommend

clik me

yours comment here