Counter

Followers

Jumat, 31 Januari 2014

Kitab Suci dan Tafsir



Kitab Suci dan Tafsir
Dalam al-Qur’an surah AIi Imran ayat 3, Allah SWT berfirman:“Dialah yang telah menurunkan kepadamu al-Kitab dengan haq,yang membenarkan (kitab-kitab) yang telah ada di depannya, yaituTawrat dan lnjil (yang diturunkan) sebelumnya, sebagai petunjuk bagi manusia, dan Dia telah menurunkan al-Furqan” dan pada ayat 6 : “Dialah yang telah menurunkan kepadamu al-Kitab; sebagian ayat-ayatnya jelas (muhkamat); (ayat-ayat) itu merupakan pokok al-Kitab, dan (ayat-ayat) lainnya samar (mutasyabihat). Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecenderungan (kepada kesesatan), maka mereka mengikati ayat-ayat yang samar (bersifat simbolis), dengan tujuan menimbulkan kekacaaon dan menginginkanpenta’wilannya. Dan tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecualiAllah dan orang-orang yang mendalam ilmunya, yang mereka ituberkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat itu, semuanya berasaldari Tuhan kami’. Dan tidak akan merenungkan (hal ini) kecuali orang-orang yang berakal”.
Ibnu Sina mengatakan bahwa syarat seorangNabi adalah bahwa iamenyampaikan wahyu (ajaran) dalam bentuk simbol-simbol dan isyarat-isyarat, dan itulah ciri dan indikasi kenabian (nubuwwah), juga sepertikata Plato, barang siapa yang tidak dapat menangkap isyarat kenabian, iatidak dapat mencapai kerajaan Tuhan (Nurcholish Madjid: 1984). Allahmenurunkan wahyu-wahyu-Nya kepada umat manusia melalui para nabi(rasul), yang sebagian isinya jelas (tegas) dan sebagiannya lagi berupaisyarat-isyarat, yang pemahamannya dapat dicapai menurut kedalaman lmu (rusukh fil-‘ilm). Surah Ali lmran ayat 3 dan 6 di atas dengan jelas menggambarkan konsep tersebut. Risalah Allah itu disebut juga kitab, karenaberisi himpunan ajaran dan merupakan ketetapan-ketetapan. Kitab-kitabitu disebut sebagai kitab suci (scriptures), karena disucikan danmengandung pesan-pesan suci ilahiah.
Selanjutnya, kitab suci mempunyai pengertian yang lebih spesifik,yaitu sebagai kitab pokok dan standard suatu agama, yang umumnyaberisi kumpulan wahyu yang diberikan Allah (Tuhan) kepada umatmanusia melalui seorang rasul. Ini dengan asumsi bahwa kitab-kitabagama apapun dalam bentuknya yang paling orisinil semuanya memuatwahyu-wahyu ilahi. Kitab-kitab suci (al-zubur) berfungsi sebagaipedoman hidup, sekaligus sebagai isyarat-isyarat kenabian (profetik)
Oleh karena itulah, di antara ayat-ayatnya ada yang muhkam (tegas ataumenentukan) dan itu merupakan kaidah pokok dan ada yang mutasyabih(bersifat metaforis) yang berfungsi sebagai i’tibar (menurut istilah Plato: ilmu-ilmurahasia).
Dengan menyebutkan kitab Tawrat dan Injil pada bagian awal, danbahwa kedatangan al-Qur’an adalah untuk membenarkan (meluruskan)kedua kitab tersebut, Allah hendak mengingatkankepada kita, umatIslam, bahwa kedua kitab itu telah diperlakukan secara keliru olehpenganutnya dan kesalahan yang terjadi pada umat dua kitab terdahuluitu terutama umat Kristen, adalah karena mereka salah tafsir (misinterpretasi)dalam mensikapi adanya dua bentuk ayat-ayat Allah di atas. Sendi ajaranKristen yang ditemui sekarang ini, sebenarnya didasarkan ataspenafsiran yang salah terhadap uraian-uraian yang bersifat simbolik(metaforis), dimana kemudian penafsiran-penafsiran tersebut dijadikansebagai sendi ajaran (kaidah pokok) agama mereka meskipun sudahsangat jelas bahwa ajaran-ajaran Nabi Isa AS penuh dengan tamsil(metafor).
Pemahaman terhadap kitab suci lebih dikenal dengan istilah tafsir,yang menurut bahasa al-Qur’an disebut juga dengan istilah al-bayan(QS. 55:4; 75:19) atau al-tadabbur (QS. 4:82; 38:29). Dalam ayat 6 surat AliImran di atas, juga digunakan istilah ta’wil. Namun, kata ta’wil pada ayattersebut tampaknya lebih cenderung kepada penafsiran yang dilakukanorang dengan maksud buruk terhadap ayat yang sebenamya mereka tidakmengetahui makna sesungguhnya.
Kata tafsir dan ta’wil, keduanya merujuk kepada usaha untukmemahami dan mengungkap makna kitab suci. Secara teknis tafsir berarti“penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengankemampuan manusia” (al-Dzahaby, 1961). Sedangkan ta’wil berarti“Pengalihan dari satu makna kepada makna yang lain agar bisa lebihdifahami maksudnya” (al-Qaththan, tt.). Namun seringkali keduanyadipakai untuk pengertian yang sama. Tentang isyarat untuk memahamidan menghayati ayat-ayat al-Qur’an ini, Allah SWT berfirman: “… sebuah kitab yang penuh berkah yang Kami turunkan kepadamu agar mereka memahami secara mendalam mengenai ayat-ayatnyadan agar direnungkan oleh orang-orang yang berakal” (QS. 38:29).
C. Karakteristik ayat-ayat al-Qur’an
Untuk memahami al-Qur’an, maka kita perlu memperhatikan duakarakteristik ayatnya, yaitu muhkam dan mutasyabih. Ayat muhkam,menurut Abdullah Yusuf Ali (1403 H), adalah esensi pesan Tuhan, sedangkanmutasyabih adalah ilustrasi. Ayat muhkamat disebut sebagai pokok kitab (ummul kitab), yakni ayat-ayat itu berisi kaidah-kaidah pokok ajaranIslam yang jelas dan mudah dipahami oleh orang awam sekalipun(Maulana M. Ali, 1996), misalnya ayat-ayat yang bertentangan denganperintah dan larangan, prinsip aqidah, syari’ah dan akhlaq, dan seluruhhukum-hukum Tuhan yang berlaku secara pasti. Oleh karena itu,perbedaan penafsiran yang bagaimanapun tidak akan sampai menggoyahkan kaidah-kaidah pokok itu, karena perbedaan yang terjadi hanyaberkenaan dengan hal-hal di luar kaidah dan hanya merupakan variasipenjelasan, bukan pengalihan makna.Sedangkan ayat mutasyabihat (samar dan saling menyerupai) mempunyai dua pengertian, yang keduanya disebutkan dalam al-Qur’an.
Pertama, ayat yang samar maknanya, karena mempunyai banyak maknadan dapat ditafsirkan bermacam-macam (QS. 3:6), sehingga tidak dijadikansebagai kaidah pokok agama. Kedua, pengertiannya yang memadai hanyadapat diketahui setelah dikombinasikan dengan ayat-ayat lainnya yangserupa (QS. 39:23). Kedua pengertian tersebut bisa diterapkan pada ayat-ayat yang disebut mutasyabihat.
Satu hal yang rnenarik adalah bahwamenurut al-Qur’an, adasebagian orang yang berhati kotor dan cenderung melegitimasi keinginan(intrest) tertentu berusaha untuk menafsirkan ayat-ayat itu sekehendakhatinya dengan maksud yang bermacam-macam, sehingga tafsirannyamenyesatkan. Menurut Ibnu Taymiyah (1973), Allah dan Rasul-Nyatidaklah mencela orang yang merenungkan makna di balik ungkapan-ungkapan ayat-ayat mutasyabihat, kecuali jika dilakukan dengan maksudmenimbulkan kekacauan dan perpecahan dan mencari-cari interpretasiyang tidak masuk akal.
D. Metode Tafsir dalam al-Qur’an
QS. 3:5 juga memberikan tuntunan kepada kita tentang metodemenafsirkan atau memahami al-Qur’an, yaitu bahwa semua ayat ituberasal dari Allah (kullun min ‘indi rabbina). Ayat-ayat al-Qur’an jugadisebut matsani dan mutasyabih, yakni diungkapkan berulang-ulang dansaling mendukung antara satu dengan lainnya (QS. 39:23). Dengan demikianmasing-masing ayat tidak mungkin saling bertentangan satu sama laindan tidak mungkin satu ayat menghapus yang lain, sehingga teoritentang nasikh dan mansukh perlu dipertanyakan kembali. Hal ini dengantegas difirmankan oleh Allah dalam al-Qur’an: “Lalu apakah mereka tidak memahami dengan mendalam(tadabbur) tentang al-Qur’an. Seandainya (al-Qur’an) itu bukanberasal dari Allah, niscaya mereka akan menemukan pertentangan (kontradiksi) yang sangat banyak di dalamnya” (QS. 4 : 82).
Seluruh ayat-ayat al-Qur’an mempunyai pengertian yang komprehensif dan konsep integral (satukesatuan yang utuh) Oleh karena itu,prinsip yang terpenting dalam menafsirkan al-Qur’an yang harus selaludiperhatikan adalah : pertama, bahwa arti suatu ayat harus dicari dalamal-Qur’an itu sendiri, dan suatu ayat tidak boleh sekali-kali ditafsirkansedemikian rupa sehingga bertentangan dengan ayat yang lain; kedua,dalam menafsirkan ayat mutasyabihat, terutama sekali harus disesuaikandengan kaidah pokok yang digariskan dalam ayat muhkamat.
Metode ini menegaskan bahwa kaidah-kaidah pokok dalam agama disebutkan dengan kata-kata yang terang dan tegas, sehingga perbedaan atau kesalahan dapat dengan mudah dikembalikan pada ketentuan umum; dan setiap orang tidak dibatasi dengan peraturan-peraturan yang berbelit-belit dan begitu sulitnya, yang mengesankan penutupan kesempatan untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an. Sedangkan kata-kata yang bersifat metaforis tidak dijadikan sebagai kaidah agama dan hanya berfungsi sebagai isyarat-isyarat yang hanya bisa difahami oleh orang yang dikarunia Allah dengan ilmu pengetahuan mendalam. Usaha kita untuk memahami ayat mutasyabihat jangan sampai merusak kaidah pokok yang telah ditetapkan atau berkeyakinan bahwa tafsiran itulah yang paling benar dan kemudian dijadikan sebagai kaidah pokok agama.
Ada pola-pola penafsiran al-Qur’an yang sering juga disebut sebagai metode tafsir, meskipun sebenarnya lebih pas jika disebut metode penyusunan tafsir. Pola atau metode tersebut bisa berupa: 1) tahlily, yaitu analisis ayat demi ayat, 2) ijmaly, yaitu uraian beberapa seksi ayat secara global, 3) muqaran, yaitu membandingkan berbagai penafsiran yang ada dan 4) maudhu’iy, yaitu penafsiran secara tematik baik surat per surat maupun tema-tema tertentu (al-Farmawi, 1977). Juga bisa menggunakanbeberapa pendekatan atau corak penafsiran yang juga memperlihatkan spesialisasi disiplin ilmu yang dimiliki oleh sang mufassir. Pendekatan dan sorak tersebut misalnya, tafsir fiqhy (ilmu fiqh dan hukum), ‘ilmy (sains), shufiy (tasawuf isyari), falsafy (filosofis); adab ijtima’iy (sastra kemasyarakatan) dan sebagainya.
E. Pedoman penafsiran menurut al-Qur’an
Menurut Ibnu Abbas RA, tafsir al-Qur’an itu terdiri dari empat bagian, yaitu: 1) yang dapat dimengerti secara umum oleh orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka, 2) yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; 3) yang tidak bisa diketahui kecuali oleh ulama; dan 4) yang tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah (al-Zarkasyi: 1957). Oleh karena itu, para ulama membuat persyaratan umum untuk menafsirkan al-Qur’an, yaitu harus mempunyai pengetahuan tentang: 1) kaidah bahasa khususnya bahasa Arab, 2) ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an; 3) prinsip-prinsip pokok agama, dan 4) disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat (M. Quraish Shihab, 1993). Berdasarkan pembagian tafsir dan persyaratan tersebut maka aturan-aturan yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menafsirkan al-Qur’an, seperti dikemukakan oleh Maulana M. Ali (1996), adalah sebagai berkut:
Pertama, kaidah pokok ajaran Islam ditetapkan dalam al-Qur’an berdasarkan kata-kata yang terang dan bersifat menentukan, oleh karenanya tidak boleh sekali-kali orang mencoba menetapkan kaidah agama berdasarkan ayat mutasyabihat, yang dapat diartikan bermacam-macam.
Kedua, penafsiran ayat al-Qur’an harus dicari lebih dahulu dalam al-Qur’an itu sendiri, karena apa yang di satu tempat dalam al-Qur’an hanya diterangkan secara singkat atau global, di tempat lain diterangkan dengan panjang lebar dan luas.
Ketiga, dalam al-Qur’an terdapat ayat yang bersifat metaforis (mutasyabihat), di samping ayat yang tegas (muhkamat); oleh karena itu cara yang paling aman agar tidak tersesat dalam memahami ayat metaforis, maka dalam menafsirkan ayat itu harus dengan hati-hati dan disesuaikan dengan ayat yang tegas atau terang maknanya dan tidak boleh sekali-kali bertentangan dengan ayat muhkamat itu.
Keempat,jika suatu undang-undang atau hukum syari’at telah digariskan oleh al-Qur’an dengan kata-kata yang terang, maka suatu ayat yang artinya agak samar-samar atau nampak bertentangan dengan hukum syari’at yang telah digariskan itu, cara menafsirkan ayat yang samar-samar itu harus ditundukkan kepada hukum syari’at yang telah digariskan. Demikian pula ayat yang bersifat khusus harus dihubungkan dan ditundukkan kepada ayat yang bersifat umum.

Tidak ada komentar:

follow me in

adv



From: http://www.nusaresearch.net/public/recommend/recommend

clik me

yours comment here