Counter

Followers

Jumat, 31 Januari 2014

Ilmu Munasabah



Pengertian Ilmu Munasabah
Secara etimologis, al-munasabah berarti al musyakalah dan al muqarabah yang berarti “saling menyerupai” dan “saling mendekati”. Secara termilogis, al munasabah berarti adanya keserupaan dan kedekatan diantara berbagai ayat, surat dan kalimat yang mengakibatkan adanya hubungan. Hubungan tersebut bisa berbentuk keterkaitan makna ayat-ayat dan macam-macam hubungan atau keniscayaan dalam pikiran, seperti hubungan sebab dan musabbab, hubungan kesetaraan dan hubungan perlawanan, munasabah juga dapat dalam bentuk penguatan, penafsiran dan penggantian.
B. Eksistensi Munasabah
Para ulama sepakat bahwa tertib ayat-ayat dalam Al Qur’an adalah tauqifi (tergantung pada petunjuk Allah dan Nabi-Nya). Mengenai tertib sura-surat Al-Qur’an pada ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa tertib surat-surat Al-Qur’an sebagaimana yang dijumpai dalam mushhaf yang sekarang adalah tauqifi. Pendapat ini didasarkan atas keadaan Nabi SAW, yang setiap tahunnya melakukan mu’aradhah (mendengarkan bacaanya) kepada Jibril AS. Termasuk yang diperdengarkan Rasul itu tertib surat-suratnya. Pada mu’aradhah terakhir, Zaid ibn Tsabit hadir saat Nabi membacakan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tertib surat yang sama kepada kita sekarang.
Sebagaimana ulama memandang tertib ayat-ayat Al-Qur’an masuk dalam ijtihad. Pendapat ini didasarkan atas beberapa alasan. Pertama,mushhat pada catatan para sahabat tidak sama. Kedua, sahabat pernah mendengar Nabi membaca Al-Qur’an berbeda dengan pendapat tertib surat yang terdapat dalam Al-Qur’an. Ketiga, adanya perbedaan pendapat dalam masalah tertib surat Al-Qur’an ini ditunjukan tidak adanya petunjuk yang jelas atas tertib dimaksud. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa sebagianya tauqifi dan lainya ijtihad. Pendapat ini juga mengajukan beberapa alasan. Menurut pendapat ini, tidak semua nama surat Al-Qur’an diberikan oleh Allah, tetapi sebagian diberikan oleh Nabi SAW, dan lainya diberikan oleh para sahabat. Usman pernah ditanya mengapa surat Al Baraah tidak dimulai dengan basmalah. Ia menjawab bahwa ia melihat isinya yang sama dengan surat sebelumnya, surat al-Anfal. Nabi tidak sempat menjelaskan tempat surat tersebut sampai wafatnya. Karena itu, saya kata usman meletakkanya setelah surat al-Anfal.
Meski ketiga pendapat di atas memiliki alasan, tetapi alasan-alasan yang dikemukakan itu tidak semuanya memiliki tingkat keabsahan yang sama. Alasan pendapat yang mengatakan tertib surat sebagai ijtihad tampak tidak kuat. Riwayat tentang sebagian sahabat pernah mendengar Nabi membaca Al-Qur’an berbeda dngan tertib mushhaf yang sekarang dan adanya catatan mushhaf sahabat yang berbeda bukanlah riwayat mutawatir. Tertib mushhaf sekarang berdasarkan khabar mutawatir. Kemudian, tidak ada jaminan bahwa semua sahabat yang memiliki catatan mushhaf itu hadir bersama Nabi setiap saat turun ayat Al-Qur’an. Karena itu, kemungkinan tidak utuhnya tertib mushhaf sahabat sangat besar. Demikian juga alasan pendapat yang mengatakan sebagai surat tauqifi dan sebagian lainya ijtihadi tidak kuat. Keterangan bahwa Nabi tidak sempat menjelaskan letak surat al-Baraah sehingga Usman tidak menempatkannya sebelum surat al-Anfal adalah riwayat yang lemah, baik dari segi sanad maupun matan, sebab perriwayat, Yazid pada sanadnya dinilai majbul oleh al-Bukhari dan Ibn Katsir. Dari segi matan juga riwayat ini lemah karena nabi wafat tiga tahun setengah setelah turunya surat al-Baraah. Tentunya dalam waktu demikian panjang sulit dibayangkan Nabi tidak sempat menjelaskan letak sebuah surat, sedang Nabi setiap tahun membacakan Al-Qur’an kepada Jibril. Sementara itu, riwayat tentang mu’aradhah nabi akan bacaannya kepada Jibril setiap tahun adalah riwayat sahih. Karena itu, pendapat mayoritas lebih kuat dari pada kedua pendapat lainya.
Terlepas dari kontroversi pendapat tentang keberadaan munasabah, ilmu ini termasuk yang kurang mendapat perhatian dari para mufasir. Buku-buku ulumul Qur’an, terutama buku-buku dalam bahasa Indonesia jarang memuat bahasan ini, sebab ilmu munasabah sebagaimana ditegaskan oleh al-Suyuthi termasuk ilmu yang rumit.

C. Urgensi Munasabah
Pengetahuan tentang munasabah Al-Qur’an terutama bagi seorang mufasir sangat urgen. Diantara urgensinya adalah sebagai berikut:
1.      Menemukan makna yang tesirat dalam susunan dari urutan kalimat-kalimat, ayat-ayat, dan surat-surat Al-Qur’an sehingga bagian-bagian dari Al-Qur’an saling berhubungan dan tampak menajadi satu rangkaian yang utuh dan integral.
2.       Mempermudah pemahaman Al-Qur’an. Misalnya ayat enam dari surat al-Fatihah yang artinya, ‘tunjukanlah kami kepada jalan yang lurus’ disambung dengan ayat ketujuh yang artinya ‘yaitu jalan orang-orang yang Engkau anugrahi nikmat atas mereka. “Antara keduanya terdapat hubungan penjelasan bahwa jalan yang lurus dimaksud adalah jalan orang-orang yang telah mendapatkan nikmat dari Allah SWT
3.       Memperkuat atas keyakinan dan kebenaranya sebagai wahyu dari Allah. Meskipun Al-Qur’an yang terdiri dari atas 6236 ayat dam ditulis runkan, ditempat, keadaan, dan kasus yang berbeda dalam rentang waktu dua puluh tahun lebih, namun dalam susunanya terdapat makna yang dalam berupa hubungan yang kuat antar satu bagian dengan bagian lainya.
4.      Menolak tuduhan bahwa susunan Al-Qur’an kacau. Tuduhan misalnya muncul karena penempatan surat al-Fatihah pada awal Mushhaf sehingga surat inilah yang pertama dibaca. Padahal, dalam sejarah, lima ayat pertama surat al Alaq sebagai ayat-ayat pertama turun kepada Nabi SAW. Akan tetapi Nabi menetapkan letak al Fatihah diawal mushhaf yang kemudian disusul dengan surat al Baqarah. Setelah didalami, ternyata dalam urutan ini terdapat munasabah. Surat al Fatihah mengandung unsur-unsur pokok dari syariat Islam dan pada surat ini termuat doa manusia untuk memohon petunjuk ke jalan yang lurus. Surat al-Baqarah diawali dengan petunjuk al kitab sebagai pedoman menuju jalan yang lurus. Dengan demikian, surat al Fatihah merupakan titik bahasan yang akan diperinci pada surat surat berikutnya, al Baqarah. Dengan menemukan munasabah tesebut, ternyata susunan ayat-ayat dan surat-surat al qur’an tidak kacau melainkan mengandung makna yang dalam.
D. Langkah-langkah untuk menemukan munasabah
Adapun langkah-langkah yang ditempuh untuk menemukan munasabah antara lain adalah sebagai berikut
1. Melihat tema sentral dari surat tertentu
2. Melihat premis-premis yang diperlukan untuk mendukung tema sentral
3. Mengadakan kategoristik terhadap premis-premis berdasarkan jauh dan dekatnya kepada tujuan
4. Melihat kalimat-kalimat yang saling mendukung didalam premis
E. Macam-macam munasabah
Munasabah terbagi kepada beberapa macam, yaitu munasabah antara surat dengan surat, munasabah antara surat dengan kandungannya, munasabah antara kalimat dengan kalimat, munasabah antara ayat-ayat dalam satu surat, munasabah antara penutup ayat dengan isi ayat, munasabah antara awal uraian dengan akhir uraian surat, dan munasabah antara akhir surat dengan awal surat berikutnya.
1.      Munasabah antara surat dengan surat
Surat-surat yang ada di dalam Al Qur’an mempunyai munasabah, sebab, surat yang datang kemudian menjelaskan sebagai hal yang jelas disebutkan secara global pada surat sebelumnya (al-Suyuthi). Sebagai contoh, surat alBaqarah  menberikan perincian dan menjelaskan bagi surat al Fatihah. Surat Ali Imran yang merupakan surat berikutnya memberi penjelasan lebih lanjut bagi kandungan surat al-Baqarah. Selain itu munasabah dapat membentuk tema sentral dari berbagai surat misalnya ikrar ketuhanan, kaidah-kaidah agama dan dasar-dasar agama merupakan tema-tema sentral dari surat al Fatihah, al Baqarah, dan ali Imran. Ketiga surat ini saling mendukung tema sentral tersebut.
2.      Munasabah Antara nama Surat dengankandunganya
Nama-nama surat yang ada di dalam Al-Qur’an memiliki kaitan dengan pembahasan yang ada pada isi surat. Surat al Fatihah disebut juga Umm al kitab karena memuat berbagai tujuan Al Qur’an.

3.      Munasabah antara kalimat dengan kalimat dalam satu surat
Munasabah antara kalimat dalam Al Qur’an ada kalanya memakai huruf athaf (kata hubungan) dan ada kalanya tidak. Munasabah yang memakai huruf athaf (kata hubung) biasanya mengabil teknik tadhad (berlawanan). Misalnya pada ayat :
“Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya” (QS. Al-Hadid (57):4)
dan ayat:
“Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki)” (QS. Al-Baqarah (2): 245)
Kata (masuk dengan keluar ) dan (menyempitkan dengan melapangkan) dinilai sebagai ‘aqalah (hubungan) berupa perlawanan. Sementara itu munasabah yang tidak memakai huruf ‘athaf (penghubung), sandarannya adalah qarinah manawiyyah (indikasi maknawi). Aspek ini bisa muncul dalam beberapa bentuk sebagai berikut:
a. At-Tanzhir (membandingkan dua hal yang sebanding menurut kebiasaan orang yang berakal). Misalnya:
“Sebagaimana Tuhamu menyuruh pergi dari rumahmu dengan kebenaran” (QS. Al-Anfal(8):5)



download selengkapnya dibawah ini....

Tidak ada komentar:

follow me in

adv



From: http://www.nusaresearch.net/public/recommend/recommend

clik me

yours comment here